Cerpen | Kabayan Penegak Kejujuran
Thursday, January 10, 2019
Add Comment
Dok. Pribadi |
Di sebuah desa
di Tatar Sunda tinggallah seorang anak bernama Kabayan. Semenjak bayi dia tinggal
bersama kakek dan neneknya. Dia dibesarkan dan dididik oleh kakek dan neneknya
dengan nilai-nilai keagamaan dan sosial yang sangat baik, seperti kejujuran, disiplin,
tanggung jawab, kerja keras, sederhana, mandiri, adil, berani, peduli dan
lain-lain.
Setiap hari,
selain membantu kakek dan neneknya, Kabayan bersekolah di SD Generasi Emas. Di
sekolah tersebut ada sebuah kantin yang disebut dengan Kantin Kejujuran. Banyak
barang yang dijual di Kantin Kejujuran tersebut. Ada alat tulis, makanan,
minuman, dan makanan ringan lainnya. Siswa yang ingin membeli barang-barang
tersebut cukup menyimpan uang di sebuah kotak yang sudah disediakan sesuai
dengan harga yang tertera.
Pada suatu hari,
ketika jam istirahat, Kabayan memergoki ketiga temannya, yaitu Ujang, Asep, dan
Desi sedang mengambil beberapa barang di Kantin Kejujuran. Mereka mengambil
pensil, penghapus, kue dan air mineral. Namun mereka tidak membayar.
“Hey, mengapa
kalian mengambil barang-barang itu tanpa menyimpan uang di dalam kotak?” tanya
Kabayan.
“Sudahlah
Kabayan jangan ikut campur” kata Ujang dengan nada tinggi.
“Iya Kabayan, lebih
baik kamu tidak usah ikut campur. Ini bukan urusanmu” timpal Desi.
“Kalau kamu mau,
nih pensil ini untuk kamu. Tenang saja tidak usah bayar” bujuk Asep.
Dengan penuh keberanian
dan keyakinan Kabayan menolak ajakan dan pemberian itu.
“Tidak! Itu
perbuatan yang sangat tidak terpuji. Itu adalah perbuatan dosa. Perbuatan itu
merugikan orang lain dan diri kalian sendiri.” tolak Kabayan.
“Halaah Kabayan!
Sudahlah jangan banyak ceramah. Uruslah diri kamu sendiri.” kata Ujang.
“Kalau kamu
tidak mau menerimanya kita tidak mau menjadi teman kamu lagi!” ancam Ujang
sambil mendorong Kabayan.
Lalu Kabayan
jatuh terpental ke tanah. Tidak lama
kemudian dia kembali bangun.
“Sahabat-sahabatku,
janganlah kalian berbuat kasar seperti ini. Bukankah kita bersahabat sudah
cukup lama? Jangan karena untuk menutupi ketidakjujuran, kalian rela memutuskan
tali persahabatan kita.” pinta Kabayan.
“Sudah jangan
banyak bicara! Jangan ikut campur dengan urusan kita! Kamu lebih baik pergi
dari sini! Ini bukan urusanmu.” bentak Desi.
“Ya Allah,
jangan begitu Des! Kamu ini perempuan. Tidak sepantasnya kamu berbicara dengan
nada kasar seperti itu.”
Tidak lama
kemudian, datanglah Pak Iwan. Pak Iwan adalah wali kelas mereka.
“Ada apa ini
ribut-ribut?” tanya Pak Iwan penuh kaget.
“Ini Pak,
Kabayan mengganggu kita. Kita sedang ngobrol-ngobrol lalu tiba-tiba Kabayan
datang mengganggu dan menuduh.”
“Mengganggu bagaimana
maksudnya? Menuduh apa?” tanya Pak Iwan dengan penuh rasa bingung.
“Kabayan menuduh
kita mengambil barang-barang di Kantin Kejujuran tanpa membayar, Pak.”
“Astagfirullah,
tidak Pak. Demi Allah saya tidak menuduh seperti itu. Mereka benar-benar
mengambil barang-barang itu tanpa membayar, Pak.” jelas Kabayan.
“Bohong! Kabayan
bohong Pak! Teriak Ujang.
“Sudah-sudah,
sekarang semuanya ikut Bapak ke ruang kantor!” pinta Pak Iwan.
Kemudian mereka pun
berjalan menuju ruang kantor. Sambil berjalan, Ujang, Asep dan Desi saling
berbisik. Entah apa lagi yang mereka sedang rencanakan.
Tak lama
kemudian mereka tiba di ruang kantor. Lalu mereka duduk di kursi yang mengelilingi
meja Pak Iwan.
“Kabayan, apa
benar yang mereka katakan tadi?” tanya Pak Iwan.
“Tidak Pak.
Tidak benar sama sekali.” jawab Kabayan.
“Waktu saya tadi
ke Kantin Kejujuran, saya memergoki Ujang, Asep dan Desi sedang mengambil
beberapa barang tanpa menyimpan uang di kotak itu, Pak.” lanjut Kabayan.
“Ujang, Asep,
Desi, apa benar yang Kabayan ucapkan itu?” tanya Pak Iwan.
“Tidak, Pak.
Tidak benar.” jawab Ujang.
“Iya Pak, kita membayar
kok” timpal Asep.
“Astagfirullah,
tadi itu jelas-jelas mereka mengambil barang-barang itu tanpa membayar, Pak.
Malahan mereka menawari saya pensil. Mereka bilang tidak usah bayar. Kalau
menolak, mereka mengancam tidak akan menjadi teman saya lagi.” jelas Kabayan.
“Desi, coba kamu
berkata jujur. Apa yang tadi sebenarnya terjadi” telusur Pak Iwan.
“Eu… Begini Pak…
Eu…sebenarnya tadi itu... Eu…” jawab Desi dengan gugup.
“Ayo Desi jawab
saja! Jangan takut! Katakan sejujurnya!” bujuk Pak Iwan.
Di wajah Desi
terpancar perasaan bersalah. Sesekali dia menghela napas panjang dalam-dalam. Dia
berusaha menguatkan diri untuk mengatakan sebuah kejujuran.
“Iya Pak,
sebenarnya apa yang dikatakan Kabayan itu benar. Tadi sebenarnya kita tidak
membayar untuk barang-barang yang kita ambil di Kantin Kejujuran.” jawab Desi
penuh penyesalan.
“Benar begitu,
Ujang, Asep?” tanya Pak Iwan menegaskan.
“Iya benar, Pak”
jawab Ujang dan Asep sambil menunduk penuh rasa malu dan penyesalan.
“Oo, kalau
begitu sekarang sudah jelas permasalahannya. Ujang, Asep, Desi, kalian harus
berjanji untuk tidak mengulanginya lagi ya! Berkata dan berbuat jujurlah pada
diri kalian sendiri dan orang lain. Karena kejujuran adalah kunci dari
kepercayaan dan kesuksesan” nasihat Pak Iwan dengan bijak.
“Baik Pak, kami
berjanji tidak akan mengulanginya lagi” jawab Ujang, Asep, dan Desi.
“Sekarang, ayo
kalian saling minta maaf!” ajak Pak Iwan.
“Maafin ya
Kabayan.” pinta Ujang, Asep, dan Desi sambil menyalami Kabayan.
“Maafin juga
saya ya teman-teman.” Pinta Kabayan dengan kerendahan hati.
“Terima kasih
Kabayan. Kamu sudah memegang teguh dan menegakkan kejujuran di sekolah ini.” Pak
Iwan mengapresiasi.
Mereka pun
akhirnya saling memaafkan dan tersenyum. Lalu, dengan perasaan senang, mereka
kembali masuk ke kelas karena bel masuk sudah berbunyi.
(Penulis: Cecep Gaos,
2016)
0 Response to "Cerpen | Kabayan Penegak Kejujuran"
Post a Comment