“Teach Like A Deaf-Mute”, Upaya Menggali dan Meningkatkan Kompetensi Sikap Peserta Didik SMP Puri Artha
Saturday, March 2, 2019
Add Comment
“Teach Like A Deaf-Mute”, Upaya Menggali dan Meningkatkan Kompetensi
Sikap Peserta Didik SMP Puri Artha
Oleh:
Cecep Gaos, S.Pd
Pendidikan adalah usaha sadar yang dilakukan oleh manusia untuk meningkatkan taraf hidup dan kehidupan. Selain itu, pendidikan merupakan salah satu hak setiap warga negara, tanpa membedakan suku, agama, ras, dan antargolongan. Hal ini telah dijamin oleh negara melalui Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Amandemen IV pasal 31 ayat (1) yang berbunyi “Setiap warga negara berhak mendapat pendidikan”.
Sementara itu, mengajar merupakan salah satu hal yang sangat penting dalam sebuah proses pendidikan. Mengajar adalah salah satu tugas pokok dan fungsi (tupoksi) seorang guru. Hal ini sebagaimana tercantum di dalam Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2017 Tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 74 Tahun 2008 Tentang Guru. Pada pasal 1 ayat (1) disebutkan bahwa guru adalah pendidik profesional dengan tugas utama mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan, melatih, menilai, dan mengevaluasi peserta didik pada pendidikan usia dini jalur pendidikan formal, pendidikan dasar, dan pendidikan menengah.
Kemudian, bagaimana jika aktivitas mengajar ini dilakukan oleh seorang guru deaf-mute?
Sebelum menjawab pertanyaan tersebut, penulis mencoba mendefinisikan terlebih dahulu pengertian deaf-mute?
Deaf-mute atau tunarungu dan tunawicara adalah kondisi atau keadaan seseorang yang memiliki keterbatasan dalam berbicara dan mendengar. Di dalam Wikipedia disebutkan “Deaf-mute is a term which was used historically to identify a person who was either deaf using a sign language or both deaf and could not speak”. Di dalam bahasa Indonesia tunarungu dan tunawicara kurang lebih diartikan sebagai istilah yang digunakan secara historis untuk mengidentifikasi seseorang yang tidak bisa mendengar dan tidak bisa berbicara. Dengan demikian, secara sederhana guru deaf-mute bisa diartikan sebagai guru yang tidak bisa mendengar dan berbicara.
Pada hari Senin yang lalu (18/02/2019), penulis mencoba melakukan “socioedu experiment” atau eksperimen pendidikan dan sosial terhadap peserta didik kelas VII SMP Puri Artha Karawang. Peserta didik di dalam kelas ini adalah peserta didik normal, dalam pengertian bukan peserta didik difabel yang memiliki keterbatasan dalam mendengar dan berbicara.
Kemudian, bagaimana jika aktivitas mengajar ini dilakukan oleh seorang guru deaf-mute?
Sebelum menjawab pertanyaan tersebut, penulis mencoba mendefinisikan terlebih dahulu pengertian deaf-mute?
Deaf-mute atau tunarungu dan tunawicara adalah kondisi atau keadaan seseorang yang memiliki keterbatasan dalam berbicara dan mendengar. Di dalam Wikipedia disebutkan “Deaf-mute is a term which was used historically to identify a person who was either deaf using a sign language or both deaf and could not speak”. Di dalam bahasa Indonesia tunarungu dan tunawicara kurang lebih diartikan sebagai istilah yang digunakan secara historis untuk mengidentifikasi seseorang yang tidak bisa mendengar dan tidak bisa berbicara. Dengan demikian, secara sederhana guru deaf-mute bisa diartikan sebagai guru yang tidak bisa mendengar dan berbicara.
Pada hari Senin yang lalu (18/02/2019), penulis mencoba melakukan “socioedu experiment” atau eksperimen pendidikan dan sosial terhadap peserta didik kelas VII SMP Puri Artha Karawang. Peserta didik di dalam kelas ini adalah peserta didik normal, dalam pengertian bukan peserta didik difabel yang memiliki keterbatasan dalam mendengar dan berbicara.
Dalam eksperimen
tersebut, penulis berlaku sebagai seorang guru dwi difabel, yaitu guru
tunarungu (tidak dapat mendengar) dan tunawicara (tidak dapat berbicara). Adapun
salah satu tujuan utama dari ekseprimen ini yaitu untuk mendapatkan gambaran
seperti apa dan sejauh mana kompetensi sikap sosial para peserta didik. Kemudian
mencoba meningkatkan kompetensi sikap mereka tersebut.
Sebelum melakukan
eksperimen ini, penulis telah mempersiapkan skenario pembelajaran dan
instrumen-instrumen yang dibutuhkan. Selain itu, penulis meminta bantuan wali
kelas untuk menjadi observer dan untuk
mendokumentasikan segala aktivitas proses pembelajaran.
Sebelum memasuki kelas,
penulis berdiskusi dengan wali kelas tentang apa yang akan dan harus dilakukan
pada kegiatan eksperimen ini. Agar kesan sebagai guru tunarungu dan tunawicaranya
dapat langsung ditangkap dan dirasakan oleh para peserta didik, penulis menutup
mulut dengan kertas dan selotip.
Ketika jam belajar
dimulai, penulis memasuki ruang kelas dengan keadaan mulut tertutup kertas dan
selotip. Tentu saja, ketika penulis memasuki kelas, para peserta didik pada
awalnya terlihat kaget dan aneh melihat mulut gurunya ditutup kertas dan
selotip.
Sesuai dengan yang
telah diskenariokan sebelumnya, penulis membuka pelajaran dengan menyapa dan mengecek
kehadiran peserta didik tanpa berbicara sepatah kata pun. Penulis menuliskan
sapaan dan pertanyaan tentang kehadiran tersebut pada Tab with S-Pen yang telah
diproyeksikan pada layar proyektor. Tab
with S-Pen ini memang merupakan
perangkat utama yang dipakai dalam proses pembelajaran digital di SMP Puri
Artha. Dalam hal ini, baik guru maupun setiap peserta didik menggunakan Tab ini dalam setiap proses
pembelajaran.
Dok. Pribadi |
Ketika penulis menyapa
dan menanyakan tentang kehadiran, para peserta didik meresponnya. Pada awalnya mereka
langsung menjawab secara oral. Tetapi penulis memberikan isyarat tidak dapat
mendengar dengan cara menunjuk telinga dan menggeleng-gelengkan kepala. Pada akhirnya
mereka pun mengerti dengan kondisi ini, kemudian menuliskan respon dan jawaban
dari pertanyaan penulis pada Tab-nya.
Setelah menyapa dan
mengecek kehadiran peserta didik, penulis menyampaikan tentang materi apa yang
akan dipelajari. Seperti halnya pada kegiatan awal tadi, dalam melakukan proses
pembelajaran, penulis pun menyampaikan materi pembelajaran dengan cara
menuliskannya pada Tab yang telah
diproyeksikan ke layar proyektor. Para peserta didik pun dalam merespon, bertanya,
dan menjawab menuliskannya pada Tab
mereka masing-masing.
Dok. Pribadi |
Perlu diketahui, bahwa
dalam proses pembelajaran, penulis lebih banyak memberikan aktivitas
pembelajaran yang berpusat pada peserta didik. Selain itu, penulis dan para
peserta didik memaksimalkan penggunaan Tab
dalam setiap proses pembelajaran. Dalam hal ini, proses pembelajaran
berlangsung di dalam kelas maya, yaitu Google
Classroom yang dapat diakses melalui Tab
masing-masing yang terkoneksi dengan internet.
Singkat kata, setelah
proses pembelajaran selesai, penulis memberikan angket digital kepada para
peserta didik tentang respon mereka terhadap pembelajaran yang dilakukan oleh seorang
guru yang tunawicara dan tunarungu. Angket digital ini dibuat dengan menggunaan
Google Form. Seperti halnya pemberian
materi pelajaran, tautan angketnya diberikan melalui Google Classroom.
Angket ini bersifat
angket terbuka atau uraian. Artinya bahwa tidak terdapat pilihan jawaban yang
dsediakan. Jawabannya berdasarkan pendapat masing-masing peserta didik. Di
dalam angket tersebut terdapat lima pertanyaan.
Pertanyaan pertama “Bolehkah seorang tunawicara (tidak bisa bicara) dan tunarungu (tidak bisa mendengar) menjadi guru? Jelaskan
jawabanmu”. Untuk pertanyaan ini, seluruh peserta didik mejawab boleh, tetapi
dengan memberikan alasan yang berbeda-beda. Ada yang beralasan bahwa karena
semua orang memiliki derajat yang sama. Selain itu ada juga yang beralasan
bahwa untuk menjadi seorang guru tidak dilihat dari fisiknya tetapi dari
ilmunya.
Pertanyaan kedua “Apa yang kamu rasakan apabila gurumu adalah
seorang tunawicara dan tunarungu ?”
Untuk pertanyaan ini, jawabannya cukup variatif. Ada peserta didik yang
menjawab biasa saja, ada yang menjawab bingung, ada yang menjawab merasa bangga
dan sedih, ada yang menjawab kasihan, dan ada juga yang menjawab merasa
prihatin.
Pertanyaan ketiga “Apakah penjelasan tentang materi yang
disampaikan oleh gurumu yang tunawicara
dan tunarungu itu dapat kamu
pahami? Mengapa?” Untuk pertanyaan ini, ada peserta didik yang menjawab
kurang dapat dipahami, ada yang menjawab bingung, ada juga yang menjawab dapat
dipahami karena dibantu dengan tulisan. Tetapi yang menjawab dapat dipahami
jumlahnya paling banyak.
Pertanyaan keempat “Apa yang harus dilakukan oleh pemerintah
agar guru yang tunawicara dan
tunarungu bisa mengajar dengan baik?”
Untuk pertanyaan ini, ada peserta didik yang menjawab tidak tahu, ada yang
menjawab pemerintah harus memberikan kesempatan yang sama kepada tunarungu dan
tunawicara untuk mengajar, ada yang menjawab pemerintah harus menyediakan sekolah
khusus untuk siswa dan guru tunarungu dan tunawicara, dan ada juga yang
menjawab pemerintah harus memberikan fasilitas atau alat bantu kepada guru yang
tunawicara dan tunarungu.
Kemudian pertanyaan
terakhir “Apa pendapatmu tentang
pembelajaran yang dilakukan oleh guru yang tunawicara dan tunarungu?” Untuk pertanyaan ini, ada
peserta didik yang menjawab sama saja, yang membedakan hanyalah cara dalam
menyampaikan materi pelajaran. Ada yang mengatakan bahwa perjuangan sang guru
sangat besar dalam menyukseskan anak bangsa. Ada juga yang mengatakan bahwa
kita harus memahami keadaan yang terjadi pada guru (baca: pada orang lain). Selain
itu ada juga yang mengatakan bahwa guru yang tunarungu dan tunawicara sangat
memotivasi bahwa fisik tidak menjadi halangan untuk memberikan ilmu kepada
orang lain.
Dari jawaban-jawaban
yang disampaikan oleh para peserta didik tersebut, dapat kita lihat bahwa kompetensi
atau kondisi sikap mereka berbeda-beda. Hal ini bisa disebabkan oleh latar
belakang mereka masing-masing atau faktor-faktor, baik internal maupun
eksternal, yang memengaruhi mereka selama ini.
Pada kegiatan akhir
eksperimen, penulis kemudian memberikan gambaran dan pemahaman kepada para
peserta didik tentang kondisi sosial yang pasti mereka akan hadapi di masa kini
maupun masa yang akan datang. Perbedaan-perbedaan pasti akan mereka temui dan
hadapi dalam kehidupan sehari-hari, baik perbedaan fisik maupun nonfisik. Oleh
karena itu, diperlukan kompetensi atau kemampuan sikap yang baik dan tepat
dalam menghadapinya.
Semoga dengan hasil eksperimen
ini, kita semua menjadi lebih tersadarkan akan pentingnya hak-hak asasi dan
sosial setiap individu, termasuk para penyandang difabel. Selain itu, yang
tidak kalah penting, semoga para peserta didik atau anak-anak kita, yang notabene sebagai generasi penerus
bangsa, akan betul-betul menjadi generasi yang utuh, yaitu generasi yang tidak
hanya memiliki kompetensi pengetahuan dan keterampilan yang mumpuni, tetapi
juga memiliki kompetensi sikap yang baik. []
Referensi
Pemerintah
Indonesia. 2017. Peraturan Pemerintah RI
Nomor 19 Tahun 2017 tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 74 Tahun
2008 Tentang Guru. Jakarta: Sekretariat Negara.
Republik
Indonesia. 1945. Undang-undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Jakarta.
Wikipedia.
Tanpa Tahun. Deaf-mute.
https://en.wikipedia.org/wiki/Deaf-mute
diakses pada 2 Maret 2019
0 Response to "“Teach Like A Deaf-Mute”, Upaya Menggali dan Meningkatkan Kompetensi Sikap Peserta Didik SMP Puri Artha"
Post a Comment